ANALYTIC HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK PENYUSUNAN PRIORITAS PROGRAM PEMBANGUNAN PEMERINTAHAN DAERAH

 
Abstract
Development program priorities of local government were developed based on alignment with the vision, mission, and goals to be achieved. Thus, prioritization must consider the strategic planning that has been assigned an entity. Analytic Hierarchy Process (AHP) is an approach that can be used to select and determine the priority development programs to consider strategic planning as the main criterion. Processing to determine weight and priority using expert choice programs, the computer-based application system that specifically designed for selecting the alternatives
AHP can provide optimal solutions for analysis of quantitative and qualitative decision, evaluate a priority based on the hierarchical model, and identify the priority ranking based on a logical argument. AHP in the province of East Java is intended to identify, select and assign priorities based on the medium term program and align to the vision. Stages of the AHP to set the priority scale of development program in East Java Province is data collection, decomposition, comparative judgement, and synthesis of priority. The results of the analysis determined that the highest priority program is the quality improvement of education and the lowest priority programs are the rehabilitation and reconstruction of social economic impact of lapindo mud.


Key words:
Analytic Hierarchy Process (AHP),  priority setting,strategic planning, RPJMD, Visi, alignment.

Rescaling Balance Scorecard sebagai Model Penilaian Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)


Abstraksi
Sebagai perwujudan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance), penyelenggaraan  pemerintahan daerah harus didukung sistem akuntabilitas kinerja yang memadai. Setiap pengemban amanah (agency) harus bisa mempertanggungjawabkan pengelolaan satuan kerja (entity) secara akuntabel kepada pemberi amanah (principal). Kinerja pengemban amanah, sebagai ukuran prestasi ketercapaian tujuan entitas, harus bisa dimonitor, dinilai dan dievaluasi dalam sistem hirarki organisasi formal yang sudah ditetapkan. Hal ini terutama untuk mewujudkan akuntabilitas vertikal.
Rescaling Balance Scorecard dapat digunakan sebagai salah satu alternatif model pengukuran kinerja entitas pemerintahan. Adaptasi Balance Scorecard System sehingga menempatkan outcome sebagai target akhir pengukuran kinerja konsisten dengan karakteristik entitas pemerintahan sebagai lembaga layanan publik. Perspektif outcome, keuangan, proses internal, inovasi & pembelajaran merupakan dimensi yang sejatinya adalah critical success factors (CSF). Derivasi dimensi CSF menjadi key performance indicators (KPI) merepresentasikan indikator kinerja entitas pemerintahan. Dalam model   Rescaling Balance Scorecard, antar dimensi CSF saling berkorelasi untuk menuju target akhir kinerja yaitu outcome (alignment). Pembobotan dan penilaian kinerja merupakan tahap akhir untuk mengetahui tingkatan kinerja entitas pemerintahan dengan kategorisasi Sangat Baik (A), Baik (B), dan Kurang baik (C).

Keyword : rescaling balance scorecard, outcome, finansial, proses internal, inovasi & pembelajaran, scoring.  

1.      Latar Belakang Masalah
Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa organisasi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja individu) bertanggung jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme supervisi, pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah, para manajer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh karena itu, makna akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekedar proses formal dan saluran untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih tinggi.  Akuntabilitas harus merujuk kepada sebuah spektrum yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu pada harapan publik sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja, responsivitas, dan juga moralitas dari para pengemban amanah publik.
Untuk mewujudkan sistem akuntabilitas publik yang amanah tersebut, perlu dikembangkan sistem monitoring kinerja entitas pelayanan publik. Melalui sistem ini, kemajuan prestasi atau kinerja terhadap pencapain visi/misi yang telah ditetapkan dapat diketahui dalam tahap pelaksanaan program (on going program). Dengan demikian, permasalahan dan kendala pembangunan dapat segera diidentifikasi dan solusi terbaik dapat segera diformulasikan.
Sistem monitoring kinerja entitas pelayanan publik dapat dikembangkan dari Model Balanced Scorecard (BSC). Model BSC mengkasifikan kinerja dalam empat perspektif berikut: (1) The Learning and Growth Perspective, (2) The Business Process Perspective, (3) The Customer Perspective, dan (4) The Financial Perspective. Pada awalnya Model BSC memang ditujukan untuk memperluas area pengukuran kinerja organisasi swasta yang profit-oriented. Pendekatan ini mengukur kinerja berdasarkan aspek finansial (historical) dan non financial (future) secara seimbang (balanced).
Pada dasarnya BSC merupakan sistem pengukuran kinerja yang mencoba untuk mengubah misi dan strategi organisasi menjadi tujuan dan ukuran-ukuran yang lebih berwujud. Ukuran finansial dan non finansial yang dirumuskan dalam perspektif BSC sebenarnya adalah derivasi (penurunan) dari visi dan strategi organisasi. Dengan demikian, hasil pengukuran dengan BSC ini mampu menjawab pertanyaan tentang seberapa besar tingkat pencapaian organisasi atas visi dan strategi yang telah ditetapkan.
Mengadopsi dan mengadaptasi BSC Model dari dimensi organisasi yang profit-oriented ke dalam organisasi sektor publik yang non profit  perlu dilakukan Rescaling Balance Scorecard. Instansi pemerintah sebagai organisasi sektor publik terbesar dapat mengoptimalkan sistem akuntabilitas kinerja dengan Rescaling Balance Scorecard.
2.      Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
  •  Bagaimana memformulasikan sistem pengukuran kinerja SKDP berbasis Rescaling Balance Scorecard?
  • Apa saja ukuran kinerja outcome, finansial, proses internal dan inovasi & pembelajaran yang dapat dianggap sebagai key performance indicator (KPI) SKDP?
  • Bagaimana pembobotan dan scoring hasil pengukuran kinerja berbasis Rescaling Balance Scorecard untuk setiap entitas SKDP?.
1.      Tujuan Kajian Ilmiah
  • Mengkaji formulasi sistem pengukuran kinerja SKDP berbasis Rescaling Balance Scorecard.
  • =>>>>>>>>..........mohmahsun@jsa-akuntan.com

Memformulasikan Sistem Pengukuran Kinerja Kantor Pemadam Kebakaran


ABSTRACT
Performance measurement systems are designed to monitor the implementation of an organization’s plans and determine when the plans are unsuccessful. Performance measures also have a significant role in managerial or internal control, in ensuring that organizations are managed in the best interest of all stakeholders. To improve performance measurement systems and accountability to different stakeholders, financial and non-financial indicators should be developed for sector public organizations, particularly for all functional areas of a municipality (police, education, health, sanitation, public transit, fire, etc.). This article focuses on the formulate of  performance measurement systems by municipal fire departments. There are an expectation gap between public servants and direct users in understanding the performance indicators of fire departments. To decreased it, the performance indicators should based input, output, outcome, benefit, and impact aspects. Value for money and balanced scorecard approach has achieved widespread recognition as measuring all aspects of performance.    
Keywords: performance indicators, input, output, outcome, benefit, and impact

LATAR BELAKANG MASALAH
Banyaknya komentar masyarakat tentang keberhasilan dan ketidakberhasilan instansi pemerintah dalam menjalankan amanah yang diberikan kepadanya menunjukkan harapan dan kepedulian publik yang harus direspon. Namun, antara harapan masyarakat terhadap kinerja instansi pemerintah dengan apa yang dilakukan oleh para pengelola dan pejabat pemerintahan sering berbeda. Artinya, terjadi kesenjangan harapan (expectation gap) yang bisa menimbulkan ketidakharmonisan antara instansi pemerintah dengan para direct users dari masyarakat. Expectation gap merupakan kesenjangan yang terjadi karena adanya perbedaan antara harapan masyarakat dengan apa yang sebenarnya menjadi pedoman mutu manajemen suatu organisasi yang menyediakan layanan publik. Hal ini sebagai akibat dari belum adanya sistem pengukuran kinerja formal yang dapat menginformasikan tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah. Para pengelola pemerintahan sering mempunyai mindset bahwa ukuran keberhasilan suatu instansi pemerintah ditekankan pada kemampuan instansi tersebut dalam menyerap anggaran. Jadi, suatu instansi dinyatakan berhasil jika dapat menyerap 100% anggaran pemerintah walaupun hasil maupun dampak yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut masih berada jauh di bawah standar. Keberhasilan ini hanya ditekankan pada aspek input tanpa melihat tingkat output maupun dampaknya. Sementara masyarakat mengharapkan keberhasilan instansi pemerintah adalah tindakan nyata yang bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pada era reformasi saat ini, fenomena pengukuran keberhasilan yang hanya menekankan pada input seperti di atas banyak mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. Oleh karena itu dipertimbangkan untuk memperbaiki indikator keberhasilan suatu instansi pemerintah agar lebih mencerminkan kinerja sesuangguhnya. Dalam modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (2000) dijelaskan bahwa tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah harus memperhatikan seluruh aktivitas. Tingkat keberhasilan harus diukur tidak semata-mata kepada input dari program instansi tetapi lebih ditekankan kepada output, proses, manfaat, dan dampak dari program instansi tersebut bagi kesejahteraan masyarakat. Melalui suatu pengukuran kinerja, keberhasilan suatu instansi pemerintah akan lebih dilihat dari kemampuan instansi tersebut berdasarkan sumber daya yang dikelolanya untuk mencapai hasil sesuai dengan rencana yang telah dituangkan dalam perencanaan strategis.
Dalam rangka mengukur tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah sangat dibutuhkan adanya indikator yang jelas oleh stakeholders. Indikator kinerja adalah ukuran kuantitaif dan / atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja, baik dalam tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai. Dengan demikian, tanpa adanya indikator kinerja, sulit bagi kita untuk menilai tingkat keberhasilan dan ketidakberhasilan kebijaksanaan maupun program suatu instansi pemerintah. Dengan indikator kinerja, suatu organisasi mempunyai wahana yang jelas bagaimana dia akan dikatakan berhasil atau tidak berhasil di masa yang akan datang.
Indikator kinerja suatu organisasi hendaknya dapat dipahami secara sama baik oleh manajemen maupun stakeholders, terutama direct users. Dengan indikator yang sama dan pola pikir yang relatif sama maka penilaian keberhasilan diharapkan menggunakan kriteria yang sama sehingga lebih obyektif. Indikator kinerja instansi pemerintah semestinya tidak hanya dipahami pejabat atau aparatur instansi pemerintah (public servants), namun juga penting bagi pihak lain seperti legislatif, investor, kreditur, institusi internasional, pengamat, dan juga masyarakat umum.  Jadi dengan adanya indikator yang jelas maka akan menciptakan konsensus berbagai pihak baik internal maupun eksternal untuk menghindari kesalahan interpretasi selama pelaksanaan program dan dalam menilai keberhasilan suatu instansi pemerintah.
Kinerja instansi pemerintah bersifat multidimensional. Dalam arti, tidak ada indikator tunggal yang dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan secara komprehensif untuk semua jenis instansi pemerintah. Indikator kinerja yang dipilih akan sangat tergantung pada faktor kritikal keberhasilan yang telah diidentifikasi. Beberapa ukuran ukuran keberhasilan dapat diklasifikasikan dalam beberapa perspektif. Menurut Gordon Roberton (2002) terdapat empat perspektif indikator keberhasilan instansi pemerintah sebagaimana diadaptasi dari metodologi balanced scorecard, antara lain:
  1. Perspektif Stakeholders dan Finansial
Perspektif ini melihat pada kinerja dari sudut pandang penyedia sumber daya dan menunjukkan hasil dari apa yang ingin dicapai dalam perspektif lainnya.
  1. Perspektif Pelanggan.
Perspektif pelanggan merupakan indikator tentang bagaimana pelanggan melihat organisasi dan bagaimana organisasi memandang mereka. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai bagaimana pelanggan memandang organisasi adalah tingkat kepuasan pelanggan yang bisa diketahui melalui survei pelanggan, sikap dan perilaku mereka yang dapat diketahui dari keluhan-keluhan yang mereka sampaikan.
  1. Perspektif Proses Internal
Perspektif ini mencakup indikator produktivitas, kualitas, waktu penyerahan, waktu tunggu dan sebagainya. Indikator ini memungkinkan kita untuk menentukan apakah proses telah mengalami peningkatan, sejajar dengan benchmarks, dan atau mencapai target dan sasaran.
  1. Perspektif Inovasi dan Pembelajaran.
Perspektif ini memuat indikator tentang sampai seberapa jauh manfaat dari pengembangan baru atau bagaimana hal ini dapat memberikan kontribusi bagi keberhasilan di masa depan. Mengukur hasil dari tindakan dan aktivitas dalam perspektif ini mungkin tidak dapat dilakukan karena hasilnya tidak segera dapat diketahui dan bersifat jangka panjang. Dalam banyak kejadian, mungkin diperlukan ukuran pengganti sebagai indikator kinerja.

ORGANISASI SEKTOR PUBLIK MENGHADAPI KENDALA PENGUKURAN KINERJA.
Pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian tujuan melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa atau suatu proses. Pada kebanyakan organisasi swasta, ukuran kinerja ini adalah berupa tingkat laba. Namun organisasi sektor publik tidak bisa hanya menggunakan ukuran laba ini untuk menilai keberhasilan organisasi karena memang tujuan utama organisasi ini bukan memperoleh laba tetapi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu output organisasi sektor publik pada umumnya bersifat intangible dan indirect menjadi kendala tersendiri dalam melakukan pengukuran kinerja. Beberapa kendala pengukuran kinerja organisasi sektor publik antara lain:
1.    Tujuan organisasi bukan memaksimalkan laba.
Kinerja manajemen organisasi swasta yang bertujuan maksimalisasi laba bisa dinilai berbasarkan rasio-rasio yang biasa didapatkan dari sebuah laporan keuangan misalnya return on investment, rasio pendapatan terhadap sumber daya yang digunakan, rasio likuiditas, rasio solvabilitas, rasio rentabilitas, dan rasio keuangan lainnya. Kinerja organisasi sektor publik tidak bisa dinilai hanya berdasar rasio-rasio keuangan karena sebenarnya organisasi ini tidak pernah ada net profit, karena memang bukan profit oriented.
2.    Sifat output adalah kualitatif, intangible dan indirect.
Pada umumnya output organisasi sector publik tidak berwujud barang atau produk fisik, tetapi berupa pelayanan. Sifat pelayanan ini cenderung kualitatif, intangible, dan indirect sehingga sulit diukur.
3.    Antara input dan output tidak mempunyai hubungan secara langsung (discretionary cost center)
Dalam konsep akuntansi pertanggungjawaban, organisasi sektor publik merupakan sebuah entitas yang harus diperlakukan sebagai pusat pertanggungjawaban (responsibility centers). Karakteristik input (biaya) yang terjadi sebagian besar tidak bisa ditelusur atau dibandingkan secara langsung dengan outputnya, sebagaimana sifat biaya kebijakan (discretionary cost). Hal ini menyebabkan sulitnya ditetapkan standar sebagai tolok ukur produktivitas. Tentu berbeda dengan Departemen Produksi perusahaan manufaktur swasta yang merupakan pusat biaya teknik (engineered cost centers) dimana pengukuran produktivitas bisa diukur berdasar standar tertentu karena bisa ditelusur atau dibandingkan secara langsung antara input dengan outputnya.
4.    Tidak beroperasi berdasar market forces sehingga memerlukan instrumen pengganti mekanisme pasar.
Organisasi sektor publik tidak beroperasi sebagaimana pasar persaingan sempurna sehingga tidak semua output yang dihasilkan tersedia di pasar secara bersaing. Oleh karena tidak ada pembanding yang independen maka dalam mengukur kinerja diperlukan instrumen pengganti mekanisme pasar.
5.    Berhubungan dengan kepuasan pelanggan (masyarakat).
Organisasi sektor publik menyediakan jasa pelayanan bagi masyarakat yang sangat heterogen. Mengukur kepuasan masyarakat yang mempunyai kebutuhan dan harapan yang beraneka ragam tidaklah mudah dilakukan.

ARTI PENTING PENGUKURAN KINERJA PADA INSTANSI PEMERINTAH
          Pengukuran kinerja merupakan alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Dengan dilakukannya pengukuran kinerja maka kita bisa memastikan apakah pengambilan keputusan dilakukan secara tepat dan obyektif. Selain itu kita juga bisa memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja dan membandingkannya dengan rencana kerja serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kinerja periode berikutnya. Terjadinya peningkatan atau penurunan produktivitas bisa ditunjukkan dari kegiatan ini. Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya. Informasi yang termasuk dalam pengukuran kinerja antara lain (1) Efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan jasa; (2) Kualitas barang dan jasa (seberapa baik barang dan jasa diserahkan kepada pelanggan dan sampai seberapa jauh pelanggan terpuaskan); (3) Hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang diinginkan; serta (4) Efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.
Instansi pemerintah adalah organisasi yang pure non profit oriented. Kinerja instansi pemerintah harus diukur dari aspek-aspek yang komprehensif baik finansial maupun non finansial. Berbagai aspek yang harus diukur adalah: (1) kelompok masukan (input); (2) kelompok proses (process); (3) kelompok keluaran (output); (4) kelompok hasil (outcome); (5) kelompok manfaat (benefit); (6) kelompok dampak (impact). Selain itu ruang lingkup pengukuran kinerja sangat luas. Pengukuran kinerja harus mencakup kebijakan (policy), perencanaan dan penganggaran (planning and budgeting), kualitas (quality), kehematan (economy), keadilan (equity), dan juga pertanggungjawaban (accountability).
Kantor Pemadam Kebakaran merupakan salah satu contoh instansi pemerintah yang bertujuan melayani masyarakat. Tujuan organisasi seperti ini adalah serupa dengan tujuan instansi pemerintah pada umumnya yaitu kepuasan bagi stakeholders eksternal yang menyediakan sumber daya bagi organisasi. Namun seperti kebanyakan organisasi nirlaba lainnya, identifikasi stakeholders eksternal lebih rumit daripada organisasi bisnis. Pelanggan bagi organisasi nirlaba juga memiliki tuntutan yang lebih kompleks dan harapan yang selalu berkembang. Kondisi ini menyebabkan kriteria tingkat keberhasilan Kantor Pemadam Kebakaran dipahami dan diinterpretasikan secara tidak sama oleh pihak manajemen maupun para stakeholders eksternal.

Expectation Gap Pengukuran Kinerja Kantor Pemadam Kebakaran.
       Kebakaran yang menimpa 19 rumah penduduk Desa Jetiskapuan Kecamatan Jati Kabupaten Kudus Rabu (16/10) siang, merupakan bukti betapa loyo dan amburadul-nya pelayanan mobil pemadam kebakaran (MPK). Sekaligus juga kurangnya persiapan aparat pemerintah kabupaten (Pemkab) mengantisipasi musim kemarau 2002. Hal itu diungkapkan penduduk desa setempat maupun tokoh masyarakat di Kudus menanggapi kebakaran di Desa Jetiskapuan. Selain 19 rumah ludes terbakar dan rata dengan tanah, tiga rumah penduduk dirobohkan untuk mencegah rumah lain ikut terbakar. Menurut Khambali, setelah mengetahui terjadi kebakaran, ia bergegas meminjam telepon ke rumah dealer sepeda motor yang terletak sekitar 700 meter dari lokasi kebakaran. Lalu menelepon ke pemadam kebakaran Pemkab Kudus. Namun, baru satu jam kemudian muncul dua unit MPK” (Harian Kompas, 12 Oktober 2002)
Ilustrasi kasus di atas menunjukkan belum adanya kejelasan tentang indikator kinerja atau keberhasilan suatu Dinas Pemadam Kebakaran. Sistem pengukuran kinerja formal nampaknya belum ditetapkan sehingga tidak ada kriteria yang jelas bagaimana sebenarnya Dinas Pemadam Kebakaran ini dinilai berprestasi atau gagal.  Keluhan masyarakat seperti yang terjadi di Kudus tersebut membuktikan tingkat pelayanan yang tidak memuaskan. Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Kasus di atas memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa formulasi pengukuran kinerja harus memperhatikan keiinginan dan harapan publik. Sungguh ironis jika suatu instansi dalam laporan pertanggungjawabannya dinilai cukup berhasil tetapi masyarakat yang menikmati langsung jasanya justru banyak yang mengeluh atas pelayanan yang diberikan. Lalu apa sebenarnya indikator keberhasilan instansi seperti Kantor Pemadam Kebakaran tersebut ?. Apakah indikator ini mencerminkan tujuan utama orgasisasi sektor publik yaitu pelayanan ?. Masalah ini cukup nyata dan tentunya tidak bisa terus berlangsung, apalagi di tengah pemerintah sedang giat mewujudkan good governance dengan sebenar-benarnya.
Banyaknya keluhan masyarakat terhadap jasa pelayanan Kantor Pemadam Kebakaran mengindikasikan adanya harapan-harapan masyarakat yang tidak bisa terpenuhi oleh Kantor Pemadam Kebakaran. Celakanya, keluhan ini terjadi dari tahun ke tahun, yaitu sejak masa pemerintahan orde baru sampai era reformasi sekarang ini. Fenomena ini menyiratkan kemungkinan adanya expectation gap yang cukup tinggi antara public servant dengan masyarakat terutama direct users.
Permasalahan di atas memerlukan solusi berupa perumusan sistem pengukuran kinerja yang mengintegrasikan kepentingan manajemen instansi dengan harapan stakeholders eksternal terutama direct users. Dengan formulasi sistem pengukuran kinerja yang harmonis dan responsive terhadap banyaknya keinginan stakeholders ini, diharapkan bisa mengurangi gap (kesenjangan) antara apa yang diharapkan masyarakat dengan apa yang dilakukan public servants sebagai abdi masyarakat (bukan hanya abdi negara).
TUJUAN DAN FUNGSI KANTOR PEMADAM KEBAKARAN
Kantor Pemadam Kebakaran merupakan salah satu instansi pemerintah yang keberadaannya hampir tidak pernah “tersentuh”. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara P.U. No. 11/KPTS/2000 tanggal 1 Maret 2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Penanggulangan kebakaran disebutkan bahwa agar suatu kota terlindung dari bahaya kebakaran, diperlukan kota tersebut dibagi-bagi menjadi wilayah-wilayah manajemen kebakaran (WMK) dan tiap-tiap WMK tersebut membawahi Pos-pos Pemadam Kebakaran. Penentuan WMK dan Pos pemadam kebakaran tersebut didasarkan pada potensi dan kerawanan atas kebakaran. Beberapa propinsi membentuk Sekretariat bersama dengan sarana dan prasarana yang bisa digunakan bersama tergantung daerah mana yang kebetulan terjadi musibah kebakaran. Saat ini beberapa Pemprop tengah sibuk mereorganisasi Kantor Pemadam Kebakaran sebagai respon terhadap Kepmen tersebut.
Pada dasarnya Kantor Pemadam Kebakaran mempunyai tujuan mewujudkan pelayanan publik dalam setiap usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan menciptakan sistem pencegahan dan penanggulangan yang efektif dan efisien. Selain itu Kantor ini juga berperan besar dalam meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya kebakaran dan pentingnya upaya pencegahan dan penanggulangannya dilaksanakan secara terpadu
Kantor Pemadam Kebakaran mempunyai dua fungsi utama. Pertama, fungsi pencegahan kebakaran yaitu mengantisipasi dan melakukan usaha preventif agar tidak terjadi atau mengurangi serta meminimkan risiko terjadinya kebakaran. Kedua, fungsi penanggulangan kebakaran yaitu segala upaya dan tindakan penyelamatan pada saat terjadinya musibah kebakaran secara efektif dan efisien.  Oleh sebab itu setiap Kantor Pemadam Kebakaran hendaknya bisa merumuskan kebijakan teknis bidang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran. Selain itu juga harus melaksanakan tugas teknis operasional bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang meliputi pencegahan, pembinaan dan penyuluhan, pengendalian operasional pemadaman serta sarana dan prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran
Permasalahan yang umumnya digunakan “benteng pertahanan” Kantor Pemadam Kebakaran pada saat kinerjanya dinilai jelek oleh masyarakat memang cukup klasik. Beberapa permasalahan tersebut antara lain: (1) Kesulitan mencapai lokasi kebakaran; (2) Volume kendaraan/lalu lintas pengguna jalan cukup padat; (3) Kondisi lingkungan yang tidak menunjang operasional pemadaman kebakaran; (4) Kurangnya peralatan pemadaman kebakaran. Dari berbagai permasalahan seperti ini sebetulnya Kantor Pemadam Kebakaran memang tidak bisa berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan Dinas atau instansi lain yang berhubungan. Misalnya koordinasi dengan DLLAJR, PDAM, PT Telkom, dan masyarakat tentunya.

KINERJA KANTOR PEMADAM KEBAKARAN
Seperti disampaikan di atas, Kantor Pemadam Kebakaran ini keberadaanya sangat dekat di masyarakat hanya jika terjadi musibah kebakaran. Jika dalam kondisi normal tanpa ada musibah kebakaran, seolah semua tidak berminat membicarakan apalagi mendiskusikan. Namun demikian, bukan berarti kinerja pada instansi seperti ini tidak penting. Kinerja Kantor Pemadam Kebakaran sering dinilai hanya dari aspek input dan output. Instansi ini dinilai cukup berhasil jika bisa menyerap anggaran 100% (input) dan melaksanakan program tahunan (output), tanpa ada penilaian terhadap aspek hasil (outcome), manfaat (benefit), dan juga dampak (impact). Idealnya memang sistem pengukuran kinerja yang dipakai oleh Kantor Pemadam Kebakaran ini disusun setelah memperoleh masukan dari lembaga konstituen (representasi masyarakat), sehingga diperoleh suatu konsensus atas apa yang diharapkan oleh stakeholders atas organisasi tersebut dalam suatu indikator kinerja yang jelas. Namun, sampai saat ini cara seperti itu belum dilakukan sehingga indikator kinerja yang digunakan masih bersifat subyektif dan bukan hasil konsensus.
Dalam rangka menciptakan system pengukuran kinerja yang mencerminkan akuntabilitas publik seharusnya organisasi setor publik mempertimbangkan  indikator input, indikator output, indikator outcome, indikator manfaat, indikator dampak. Indikator input adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan output. Indikator proses adalah segala besaran yang menunjukkan upaya yang dilakukan dalam rangka mengolah input menjadi output. Indikator output adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan / atau non fisik. Indikator hasil adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya output kegiatan pada jangka menengah. Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan. Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Perumusan indikator kinerja di atas tetap berpedoman pada tujuan, program dan fungsi dari instansi yang ada. Karena setiap Kantor Pemerintah mempunyai karakteristik yang berbeda, maka sudah barang tentu indicator kinerja setiap institusi akan berbeda-beda. Dalam arti, tidak ada indikator tunggal yang dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat keberhasilan secara komprehensif untuk semua jenis instansi pemerintah. Indikator kinerja yang dipilih akan sangat tergantung pada faktor kritikal keberhasilan yang telah diidentifikasi.
Indikator keberhasilan Kantor Pemadam Kebakaran mempunyai karakteristik yang sama dengan organisasi sektor publik pada umumnya terutama yang yang pure non profit. Indikator ini sangat berbeda dengan sektor bisnis karena sifat output yang dihasilkan Kantor Pemadam Kebakaran ini lebih banyak bersifat intangible. Dengan demikian indikator finansial saja tidak cukup untuk mengukur tingkat keberhasilan Dinas Kebakaran. Dalam arti bahwa pengukuran keberhasilan Dinas Kebakaran mestinya dilakukan secara komprehensif yang meliputi aspek finansial dan non finansial baik bersifat tangible maupun intangible. Indikator keberhasilan yang didesaian harus mempertimbangkan indikator ekonomi, efisiensi, dan efektivitas baik dilihat dari sudut stakeholders dan finansial maupun dari perspektif pelanggan . Pendekatan value for money dan balance scorecard bisa digunakan sebagai alternatif pengukuran kinerja yang efektif.
Sebagaimana dipaparkan di atas, Dinas Kebakaran mempunyai fungsi utama yaitu pencegahan kebakaran dan pemadaman kebakaran. Pencegahan kebakaran meliputi semua program, kebijakan, dan kegiatan yang dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kebakaran. Fungsi pemadaman kebakaran meliputi semua program, kebijakan, dan kegiatan yang ditujukan untuk menanggulangi atau mengatasi kebakaran  pada saat bencana tersebut terjadi. Dalam rangka menilai tingkat keberhasilan Kantor Pemadam Kebakaran ini hendaknya dipertimbangkan kedua fungsi utama tersebut. Dalam arti terdapat indikator keberhasilan untuk program dan kegiatan pencegahan dan juga ada indikator keberhasilan untuk program dan kegiatan pemadaman kebakaran. Masing-masing fungsi ini bisa diklasikasikan dan diidentifikasi indikator keberhasilan pada input, proses, output, outcome, manfaat, dan juga dampaknya.

PERUMUSAN INDIKATOR KINERJA KANTOR PEMADAM KEBAKARAN
Dengan mempertimbangkan harapan dan kebutuhan masyarakat serta mengacu pada tujuan, program, dan fungsi utama Kantor Pemadam Kebakaran maka perumusan indiKator kinerja bisa dilakukan dengan representatif. Sebagaimana fungsinya, pada umumnya program Kantor Pemadam Kebakaran meliputi Program Pencegahan Kebakaran dan Program Penanggulangan Musibah Kebakaran. Program pencegahan misalnya meliputi Program pemeriksaan dan pengujian peralatan dan perlengkapan penanggulangan kebakaran, Program pemeliharaan sarana dan prasarana, Program inspeksi alat pemadam kebakaran di lapangan, Program pelatihan pegawai, Program penyuluhan masyarakat, dan sebagainya. Sementara itu, Program Penanggulangan Musibah Kebakaran misalnya meliputi program penyediaan pipa air untuk kebakaran (fire hydrants), Program pengadaan mobil pemadam kebakaran, Program pengadaan helicopter, Program pemeriksaan kebakaran pada daerah-daerah terpencil, Program pengadaan dan perbaikan sistem pengiriman kode kebakaran, Program pengecekan kesiapan peralatan dan perlengkapan yang dimiliki, dan sebagainya.
Mengacu pada program sebagaimana dirumuskan, maka indikator kinerja bisa ditetapkan. Indikator ini seharusnya juga dibuat untuk setiap fungsi yaitu indikator fungsi Pencegahan Kebakaran dan indikator fungsi Penanggulangan Musibah Kebakaran. Indikator kinerja yang dirumuskan mencakup aspek komprehensif antara lain input, output, outcome, manfaat, dan dampak. Berikut contoh dan masukan tentang rumusan indikator kinerja Kantor Pemadam Kebakaran.

INDIKATOR KINERJA DINAS PEMADAM KEBAKARAN
·       FUNGSI PENCEGAHAN KEBAKARAN
Indikator Input \\ Fungsi Pencegahan Kebakaran
No.
Deskripsi
1.
Pengeluaran total untuk kegiatan pelatihan pegawai Kantor Pemadam Kebakaran (KPK) harus efisien dan transparan .
2.
Pengeluaran total Kantor Pemadam Kebakaran (KPK) untuk kegiatan penyuluhan masyarakat kebakaran harus efisien dan transparan.
3.
Pengeluaran total Kantor Pemadam Kebakaran (KPK) untuk kegiatan pencegahan kebakaran harus dipublikasikan.
4.
Persentase jumlah pengeluaran yang digunakan untuk aktivitas inspeksi (pengamatan lapangan) harus signifikan.
5.
Persentase jumlah pengeluaran yang digunakan untuk aktivitas pelatihan dan pendidikan pegawai harus signifikan.
6.
KPK melaksanakan program pendidikan dan pelatihan serta sistem rekruitmen yang terencana.
7.
Pegawai KPK yang bekerja (berjaga-jaga) secara full time (siang-malam) harus stand by
8.
Jam kerja pegawai yang disediakan untuk kegiatan pencegahan kebakaran harus mempunyai nilai tambah (value added).
9.
Proporsi waktu menganggur (idle time) dari total jam kerja efektif harus dikurangi.
10.
Selama jam kerja efektif (jam 08.00-14.00) pegawai KPK tidak boleh melakukan kegiatan yang kontraproduktif misalnya main catur, main tenis meja, main kartu, jajan ke warung
11.
KPK melakukan pengawasan lapangan dan perencanaan pra kebakaran (Pre Fire Planning)
12.
Mengembangkan sistem informasi yang berkaitan dengan masalah pencegahan dan penanggulangan kebakaran dalam menunjang efektivitas upaya pencegahan dan penanggulangankebakaran
13.
Melaksanakan kegiatan penelitian mengenai kualitas bahan, konstruksi dan sarana pemadam kebakaran serta hal-hal lain yang berkaitan dengan peningkatan efektivitas pencegahan dan penanggulangan kebakaran melalui kerjasama dengan lembaga penelitian, asosiasi profesi dan perguruan tinggi
14.
Melaksanakan pemeriksaan atau pengujian alat-alat proteksi kebakaran yang terpasang pada bangunan-bangunan.

Indikator Output \\ Fungsi Pencegahan Kebakaran
No.
Deskripsi
1.
KPK harus melaksanakan pemeriksaan atau pengujian alat-alat proteksi kebakaran yang terpasang pada bangunan-bangunan.
2.
Program-program pendidikan dan pelatihan harus  dilaksanakan secara rutin.
3.
Semua keluhan masyarakat (menyangkut kebakaran) ditangani.
4.
KPK melakukan investigasi kebakaran sehingga bisa diidentifikasi penyebabnya kebakaran.
5
Jumlah pegawai lapangan yang mahir setelah ada training meningkat.
6.
KPK melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat.
7.
KPK mempunyai Sub Unit Kerja (Sub Dinas) yang menanganinya khusus kegiatan pencegahan yaitu Sub Dinas Pencegahan.
8.
KPK melakukan latihan rutin mengenai teknik penanggulangan kebakaran dan penyelamatan (rescue)

9.
Pembinaan kesehatan dan kebugaran baik dilaksanakan sendiri maupun kerjasama dengan Dinas Kesehatan.


Indikator Outcome \\ Fungsi Pencegahan Kebakaran
No.
Deskripsi
1.
KPK mempunyai unit kerja yang harus mengantisipasi kebakaran per 1.000 bangunan milik pemerintah.
2.
KPK mempunyai unit kerja yang harus mengantisipasi kebakaran per 1.000 bangunan milik perusahaan swasta.
3.
KPK mempunyai unit kerja yang harus mengantisipasi kebakaran per 1.000 unit rumah tinggal
4.
KPK harus melakukan mengadakan intensifikasi pemeriksaan alat-alat pemadam kebakaran yang ada pada masyarakat.
5.
KPK harus mengusahakan terbangunnya Pos Kebakaran dengan menjalin kerjasama dengan masyarakat dalam hal penyediaan tanah.
6.
KPK harus bisa mengurangi jumlah kebakaran yang tidak diketahuinya.
7.
Kegiatan inspeksi lapangan dilakukan setiap hari.
8.
Kegiatan penyuluhan lapangan dilakukan seminggu minimal 3 kali
9.
Pembinaan secara umum melalui tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan lain-lain.
10.
Pembentukan dan pembinaan SATLAKAR (Satuan Relawan Penanggulangan Kebakaran)
11.
Peningkatan pengetahuan mengenai teknik pemeriksaan dan pengujian
12.
Peningkatan pengetahuan mengenai administrasi
13.
Pemeliharaan Mobil Unit Pemadam Kebakaran secara memadai

Indikator Manfaat \\ Fungsi Pencegahan Kebakaran
No
Deskripsi
1.
Penyuluhan KPK bisa meningkatkan jumlah yang mengikuti program asuransi bangunan.
2.
Setelah dilakukan penyuluhan, tingkat kesadaran pegawai dalam mengantisipasi kebakaran kantor bertambah
3.
Setelah dilakukan penyuluhan, tingkat kesadaran masyarakat dalam mengantisipasi kebakaran rumah tinggal bertambah
4.
Kebakaran yang terjadi karena rusaknya kode terjadinya kebakaran (telepon, alarm) harus diketahui KPK.
5.
Kebakaran harus dapat dicegah oleh suatu kegiatan pelatihan dan pendidikan
6.
Peningkatan ketrapilan/kemampuan para petugas pelaksana dalam hal:
  1. Ketrampilan teknis pemadaman (Fire Fighting)
b.    Ketrampilan teknis pengujian alat-alat pemadam kebakaran dan pengetahuan peralatan serta benda-benda berbahaya (inspektur kebakaran).
c.    Ketrampilan teknis rescue.

Indikator Dampak \\ Fungsi Pencegahan Kebakaran
No
Deskripsi
1.
Persentase kebakaran yang dapat dicegah oleh suatu kegiatan inspeksi bertambah dari tahun ke tahun.
2.
Sarana dan prasarana selalu dirawat dan siap sewaktu-waktu dibutuhkan.
3.
Tingkat keahlian pegawai KPK harus memenuhi standar kompetensi
4.
Proporsi pegawai yang dilatih dan kompeten minimal 80% dari total pegawai KPK
5.
Meningkatnya kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya kebakaran
6.
Proporsi terjadinya kebakaran pada daerah yang diinspeksi harus relatif kecil

·       FUNGSI PENANGGULANGAN KEBAKARAN
Indikator Input \\ Fungsi Penanggulangan Kebakaran
No.
Deskripsi
1.
Total pengeluaran KPK dalam menanggulangi bencana kebakaran harus efisien dan transparan.
2.
Prosentase jumlah pengeluaran untuk membayar gaji pegawai pemadam kebakaran harus signifikan.
3.
Prosentase jumlah pengeluaran untuk  membeli  peralatan pemadam kebakaran harus signifikan.
2.
KPK tidak boleh terlambat datang ke tempat terjadinya musibah kebakaran.
4.
KPK harus mempunyai peralatan dan perlengkapan:
a.    Mobil pemadam kebakaran
b.    Helicopter
c.    Fireboats
d.    Lampu Sorot Tembus Asap
e.    Masker Full face
f.     Baju Tahan Panas
g.    Jaket Tahan Panas
h.    Helm anti api
6.
Peralatan dan perlengkapan yang dimiliki harus siap digunakan setiap saat.
5.
KPK mempunyai unit-unit pembantu pada kawasan yang menjadi tanggung jawabnya.
6.
Pegawai KPK harus siap pada saat ada panggilan kejadian kebakaran.
7.
KPK harus selalu memperbaiki tipe sistem dan menambah  jumlah boks pelaporan sehingga sistem pengiriman kode kebakaran memadai
8.
Persediaan air untuk memadamkan kebakaran harus selalu cukup.
9.
Adanya sambungan pipa air di tepi jalan untuk keperluan kebakaran per mil persegi.

Indikator Output \\ Fungsi Penanggulangan Kebakaran
No.
Deskripsi
1.
Pegawai harus selalu merespon dengan baik jika ada panggilan terjadinya kebakaran
2.
Pegawai KPK segera berangkat jika sudah ada kepastian terjadi musibah kebakaran.
3.
KPK bersedia melakukan penanggulangan kebakaran pada daerah-daerah terpencil
4.
Jumlah pipa air untuk kebakaran (fire hydrants) harus disediakan dengan cukup memadai.
5.
KPK mengadakan kerjasama dengan unit pemadaman kebakaran pemerintah daerah lain dan BUMN-BUMN dalam operasional pemadaman kebakaran.


Indikator Outcome \\ Fungsi Penanggulangan Kebakaran
No.
Deskripsi
1.
Pegawai harus selalu merespon dengan baik jika ada panggilan terjadinya kebakaran
2.
Jika ada panggilan terjadinya kebakaran (sudah pasti) KPK segera berangkat dengan peralatan lengkap..
3.
Rata-rata waktu respon kurang dari 10 menit
4.
Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menempuh tempat kejadian kebakaran tidak melebihi 15 menit
5.
Rata-rata waktu untuk memadamkan kebakaran tidak melebihi 30 menit
6.
Terjalinnya koordinasi instansional yang selaras dan terpadu dalam menunjang setiap usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran
7.
Terbinanya kemitraan antara masyarakat, Swasta dan Pemerintah Daerah dalam usaha-usaha pencegahan dan penanggulangan kebakaran.

Indikator Manfaat \\ Fungsi Penanggulangan Kebakaran
No
Deskripsi
1.
Tingkat kerusakan dan kerugian bencana kebakaran relatif kecil
2.
Institusi atau perusahaan yang mengalami kebakaran rata-rata 15 hari sudah beroperasi kembali
3.
Jumlah korban akibat terjadinya kebakaran menurun dari tahun ke tahun.
4.
Mengurangi resiko baik korban jiwa maupun harta yang disebabkan oleh bencana kebakaran
5.
KPK harus mengetahui gejala-gejala penyebab kebakaran secara tepat

Indikator Dampak \\ Fungsi Penanggulangan Kebakaran
No
Deskripsi
1.
Rasio keluhan masyarakat kurang 1% dari penduduk DIY.
2.
Kerugian yang diderita dalam setiap kejadian kebakaran bisa ditekan seminimal mungkin.
3.
Peningkatan teknologi fasilitas penanggulangan kebakaran  setiap tahun
4.
KPK memberi santunan sepantasnya kepada korban musibah kebakaran.

METODE PENGUKURAN KINERJA KANTOR PEMADAM KEBAKARAN
Sebagaimana banyak dibahas dalam berbagai kajian akademik, bahwa pengukuran kinerja pemerintah sering hanya mengacu pada input saja. Ukuran keberhasilan suatu instansi pemerintah sering ditekankan pada kemampuan instansi tersebut dalam menyerap anggaran. Jadi, suatu instansi dinyatakan berhasil jika dapat menyerap 100% anggaran pemerintah walaupun hasil maupun dampak yang dicapai dari pelaksanaan program tersebut masih berada jauh di bawah standar. Keberhasilan ini hanya ditekankan pada aspek input tanpa melihat tingkat output maupun outcomenya.
Dalam rangka memperoleh hasil pengukuran yang obyektif dan menyeluruh mencakup semua aspek yang bersifat tangible maupun intangible maka metode pengukuran kinerja harus didesaian sedemikian rupa sehingga bisa representatif selain juga applicable. Beberapa metode bisa digunakan dalam pengukuran kinerja Kantor Pemadam Kebakaran dengan modifikasi tertentu.
1. BALANCED SCORECARD
Mengukur kinerja Kantor Pemadam Kebakaran berdasarkan perspektif finansial, pelanggan, proses internal, serta inovasi dan pembelajaran.
2. BENEFIT COST ANALYSIS
Mengukur kinerja Kantor Pemadam Kebakaran berdasarkan hubungan cost terhadap output, manfaat, dan dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat baik yang bersifat tangible (nyata) dan intangible (tidak nyata).  
3. VALUE FOR MONEY
Mengukur kinerja Kantor Pemadam Kebakaran berdasarkan kriteria ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.

4.3. FORMULASI APLIKATIF PENGUKURAN KINERJA

§  BALANCED SCORCARD METHOD

No
Perspektif
Evaluasi

Selisih / Ket

Indikator

Realisasi
1.
Finansial
·       Pengadaan peralatan
·       Pemeliharaan dan perbaikan
·       Dan sebagainya

Rp.xxx (anggaran) 
Rp xxx (anggaran)
Rp xxx (anggaran

Rp xxx
Rp xxx
Rp xxx
Berpedoman pada anggaran untuk menilai selisih dg realisasi
2.

Pelanggan

·         Kepuasan masyarakat (korban bencana kebakaran)

·         Kepedulian msyarakat atas manfaat Pemadam Kebakaran

·         Penilaian petani terhadap kualitas jasa Dinas Pemadam Kebakaran
 
Rasio keluhan masyarakat kurang dari x%

Rasio keluhan masyarakat kurang dari x%

Tk. Minimal kerugian yang diderita korban 
 
Data hasil Survey lapangan

Data hasil Survey lapangan


Data hasil Survey lapangan

 
Rasio keluhan= jml keluhan / jml korban

Rasio keluhan= jml keluhan / jml korban

Tk kerugian min.= prosentase kerugian terhadap total asset korban
3.

Proses Internal

·         Ketepatan waktu proses



·         Pegawai terlatih dan berkualitas


·         Ketersediaan sistem per periode
 
Prosentase telp masuk dijwb dlm waktu maks 1 menit

Sedikitnya 1% peg lapangan memenuhi std  kompetensi

Informasi yang dibutuhkan dapat tersedia dalam waktu maksimal 5 menit
 
Perlu survey lapangan



Perlu survey lapangan


Perlu survey lapangan


Menunjukkan aspek pelayanan


Menunjukkan kualitas pegawai

Seharusnya mempunyai Sistem database yang memadai
4.
Inovasi & Pembelajaran
·         Jumlah pelatihan pegawai setahun


·         Lingkungan kerja yang up to date



·         Jml. Peningkatan teknologi yg bisa meningkatkan efisiensi
 
Proporsi peg. yang dilatih minimal 80%

Benckmarks dg kantor hukum swasta terbaik min. 5x setahun

Peningkatan teknologi sebesar 10% setahun
 
Data hasil Survey lapangan


Data hasil Survey lapangan



Data tentang pengadaan dan pemanfaatan teknologi maju
 
Proporsi ini adalah rasio pegawai yang ikut pelatihan dg peg. total

Lingkungan kerja sangat mempengaruhi produktivitas

Adopsi fasilitas teknologi yg bisa mengurangi kelemahan kerja


§  BENEFIT COST ANALYSIS

Indikator Harapan

Pernyataan Harapan (Kualitatif)

Indikator (Kuantitatif)

Realisasi

Keterangan

Dampak

Meningkatnya rasa aman masyarakat akan ancaman kebakaran

Jumlah kebakaran menurun minimal 15%

Data hasil Survey lapangan

 

Menunjukkan dampak ketenangan masyarakat

Manfaat

Meningkatnya kepedulian masyarakat atas pentingnya pencegahan kebakaran

Peningkatan jumlah masyarakat yang memasang alat pemadam kebakaran min. 10%

Data hasil Survey lapangan

 

Fungsi pencegahan menunjukkan keberhasilannya.

Outcome

Meningkatnya pemenuhan kebutuhan masyarakat atas musibah kebakaran

Menurunkan keluhan masyarakat min. 15%

Data hasil Survey lapangan

 

Kepuasan masyarakat atas kinerja Dinas bias tercermin dari sini.

Output

Terlaksananya pengadaan dan pemanfaatan  sarana

Terlaksana 10 unit mobil pemadam kebakaran

Data hasil Survey lapangan

 

Sarana yang vital dalam penanggukangan kebakaran

Input

·       Pengadaan peralatan
·       Pemeliharaan dan perbaikan

·       Dan sebagainya


Rp.xxx (anggaran) 
Rp.xxx (anggaran)
Rp.xxx (anggaran

 


Rp xxx

Rp xxx

 

Rp xxx


Perbandingan anggaran pengeluaran dengan realisasi

·         VALUE FOR MONEY

No

Keterangan

1

Ekonomi (input value : input)

·       Membandingkan biaya pengadaan peralatan dengan standar (anggaran) yang ditetapkan

·       Membandingkan biaya pemeliharaan peralatan dengan standar (anggaran) yang ditetapkan

·       Dan sebagainya

2.

Efisiensi (output : input)

·       Membandingkan biaya yang dikeluarkan dengan peningkatan pelayanan yang diberikan

·       Membandingkan jumlah pegawai yang terlatih dengan penurunan musibah kebakaran

·       Dan sebagainya

3.

Efektivitas (tujuan:output)

·       Tujuan: Mencegah dan menanggulangi musibah kebakaran dengan efektif dan efisien

·       Output: Jumlah keluhan masyarakat (korban) berkurang, jumlah musibah kebakaran menurun, tingkat ketenangan masyarakat atas bahaya kebakaran bertambah, kesadaran masyarakat tinggi, dsb.


PENUTUP
Kebakaran adalah bahaya sangat laten dan selalu terkait dengan kondisi, prilaku dan budaya masyarakat serta dapat mengakibatkan penderitaan bagi yang terkena atau mengalaminya. Dalam skala lebih luas dikaitkan dengan pembangunan, bahaya kebakaran dapat membawa bencana besar dengan akibat yang lebih luas serta secara langsung akan menghambat kelancaran pembangunan. Oleh karena itu, bahaya kebakaran tersebut harus diantisipasi dengan berbagai upaya penanggulangan secara menyeluruh, sistematis, efektif dan berkesinambungan.
Kantor Pemadam Kebakaran adalah instansi yang diberi amanah mencegah dan menanggulangi kebakaran sedemikian rupa sehingga menurunkan risiko seminim mungkin. Masyarakat sangat berharap Kantor Pemadam Kebakaran bekerja secara ekonomis, efisien, dan efektif sehingga setiap saat jasanya diperlukan bisa memberikan pelayanan yang memuaskan. Namun public servants ternyata mempunyai pola pikir yang tidak sama sebagaimana harapan masyarakat. Expectation gap ini memang tidak bisa dihindarkan (unavoidable). Namun, setidaknya dengan sistem pengukuran kinerja yang akuntabel merespon kebutuhan direct users, kesenjangan ini bisa diminimalisir. Akhirnya, selamat bekerja para pengelola Kantor Pemadam Kebakaran, semoga bisa benar-benar menjadi abdi masyarakat.

 


DAFTAR PUSTAKA


Anonim, “Loyo, Pelayanan Mobil Pemadam Kebakaran”, Harian Kompas, 18 Oktober 2002

Chaplin, James P. Dictionary of Psychology. New York: Dell Publishing Co., Inc., 1975.

Henley, D., et al. Public Sector Accounting and Financial Control. London: Chapman & Hall. 1993.

Jones, Rowan and Maurice Pendlebury. Public Sector Accounting. 4th Edition. London: Pitman Publishing. 1996.

Kloot, Louise. “Performance Measurement and Accountability in Victorian Local Government”, The International Journal of Public Sector Management, Vol.12, issue 7, 1999

LAN & BPKP. Modul Sosialisasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. 2000.

Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2002.

Mardiasmo, “Telaah Kritis terhadap Kebutuhan Pengukuran Kinerja Pemerintah Daerah”. Jurnal Unisia. No.46/XXV/III/2002. hal.299-322.

Parry, Robert W., et al. “The Role of Service Efforts and Accomplishments Reporting in Total Quality Management: Implications for Accountants”. Accounting Horizons. Vol.8 No.02. June 1994. pp.25-43

Robertson, Gordon. “Revie Kinerja”. Lokakarya Revie Kinerja. BPKP dan Executive Education, 2002.

Rogers, Steve. Performance Management in Local Government. British: Longman Group UK Ltd, 1990.

Scott, Thomas W. and P. Tiessen. “Performance Measurement and Managerial Teams”, Accounting, Organizations and Society 24., 1999, p.263-285.

Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Pengukuran Kinerja Suatu Tinjauan pada Instansi Pemerintah.Edisi 1. Jakarta: BPKP.2000.