Abstraksi
Sebagai
perwujudan tata kelola kepemerintahan yang baik (good governance), penyelenggaraan pemerintahan
daerah harus didukung sistem akuntabilitas kinerja yang memadai. Setiap
pengemban amanah (agency) harus bisa
mempertanggungjawabkan pengelolaan satuan kerja (entity) secara akuntabel kepada pemberi amanah (principal). Kinerja pengemban amanah,
sebagai ukuran prestasi ketercapaian tujuan entitas, harus bisa dimonitor,
dinilai dan dievaluasi dalam sistem hirarki organisasi formal yang sudah ditetapkan.
Hal ini terutama untuk mewujudkan akuntabilitas vertikal.
Rescaling Balance Scorecard dapat digunakan sebagai salah satu
alternatif model pengukuran kinerja entitas pemerintahan. Adaptasi Balance Scorecard System sehingga
menempatkan outcome sebagai target
akhir pengukuran kinerja konsisten dengan karakteristik entitas pemerintahan
sebagai lembaga layanan publik. Perspektif outcome,
keuangan, proses internal, inovasi & pembelajaran merupakan dimensi yang
sejatinya adalah critical success factors
(CSF). Derivasi dimensi CSF menjadi key
performance indicators (KPI) merepresentasikan indikator kinerja entitas
pemerintahan. Dalam model Rescaling
Balance Scorecard, antar dimensi CSF saling berkorelasi untuk menuju target
akhir kinerja yaitu outcome (alignment).
Pembobotan dan penilaian kinerja merupakan tahap akhir untuk mengetahui
tingkatan kinerja entitas pemerintahan dengan kategorisasi Sangat Baik (A), Baik
(B), dan Kurang baik (C).
Keyword
: rescaling balance scorecard, outcome, finansial, proses internal,
inovasi & pembelajaran, scoring.
1.
Latar Belakang Masalah
Dalam pengertian yang sempit akuntabilitas dapat
dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban yang mengacu pada kepada siapa
organisasi (atau pekerja individu) bertanggungjawab dan untuk apa organisasi (pekerja
individu) bertanggung jawab?. Dalam pengertian luas, akuntabilitas dapat
dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah (agent) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan,
melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (principal) yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggungjawaban tersebut.
Akuntabilitas berhubungan terutama dengan mekanisme
supervisi, pelaporan, dan pertanggungjawaban kepada otoritas yang lebih tinggi
dalam sebuah rantai komando formal. Pada era desentralisasi dan otonomi daerah,
para manajer publik diharapkan bisa melakukan transformasi dari sebuah peran
ketaatan pasif menjadi seorang yang berpartisipasi aktif dalam penyusunan
standar akuntabilitas yang sesuai dengan keinginan dan harapan publik. Oleh
karena itu, makna akuntabilitas menjadi lebih luas dari sekedar proses formal
dan saluran untuk pelaporan kepada otoritas yang lebih tinggi. Akuntabilitas harus merujuk kepada sebuah
spektrum yang luas dengan standar kinerja yang bertumpu pada harapan publik
sehingga dapat digunakan untuk menilai kinerja, responsivitas, dan juga
moralitas dari para pengemban amanah publik.
Untuk mewujudkan sistem akuntabilitas publik yang
amanah tersebut, perlu dikembangkan sistem monitoring kinerja entitas pelayanan
publik. Melalui sistem ini, kemajuan prestasi atau kinerja terhadap pencapain
visi/misi yang telah ditetapkan dapat diketahui dalam tahap pelaksanaan program
(on going program). Dengan demikian,
permasalahan dan kendala pembangunan dapat segera diidentifikasi dan solusi
terbaik dapat segera diformulasikan.
Sistem monitoring kinerja entitas pelayanan publik dapat
dikembangkan dari Model Balanced
Scorecard (BSC). Model BSC mengkasifikan kinerja dalam empat perspektif
berikut: (1) The Learning and Growth
Perspective, (2) The Business Process Perspective, (3) The Customer
Perspective, dan (4) The Financial
Perspective. Pada awalnya Model BSC memang ditujukan untuk memperluas area
pengukuran kinerja organisasi swasta yang profit-oriented.
Pendekatan ini mengukur kinerja berdasarkan aspek finansial (historical) dan non financial (future) secara seimbang (balanced).
Pada dasarnya BSC merupakan sistem pengukuran kinerja
yang mencoba untuk mengubah misi dan strategi organisasi menjadi tujuan dan
ukuran-ukuran yang lebih berwujud. Ukuran finansial dan non finansial yang
dirumuskan dalam perspektif BSC sebenarnya adalah derivasi (penurunan) dari
visi dan strategi organisasi. Dengan demikian, hasil pengukuran dengan BSC ini
mampu menjawab pertanyaan tentang seberapa besar tingkat pencapaian organisasi
atas visi dan strategi yang telah ditetapkan.
Mengadopsi dan mengadaptasi BSC Model dari dimensi
organisasi yang profit-oriented ke
dalam organisasi sektor publik yang non
profit perlu dilakukan Rescaling Balance Scorecard. Instansi
pemerintah sebagai organisasi sektor publik terbesar dapat mengoptimalkan
sistem akuntabilitas kinerja dengan Rescaling
Balance Scorecard.
2.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah
dalam kajian ini adalah sebagai berikut:
- Bagaimana memformulasikan sistem pengukuran kinerja SKDP berbasis Rescaling Balance Scorecard?
- Apa saja ukuran kinerja outcome, finansial, proses internal dan inovasi & pembelajaran yang dapat dianggap sebagai key performance indicator (KPI) SKDP?
- Bagaimana pembobotan dan scoring hasil pengukuran kinerja berbasis Rescaling Balance Scorecard untuk setiap entitas SKDP?.
1.
Tujuan
Kajian Ilmiah
- Mengkaji formulasi sistem pengukuran kinerja SKDP berbasis Rescaling Balance Scorecard.
- =>>>>>>>>..........mohmahsun@jsa-akuntan.com