Era otonomi menuntut setiap pemerintah daerah mandiri dan kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan serta aktif mencari berbagai peluang yang bisa dijadikan sumber pemasukan kas daerah. Banyak peraturan daerah (perda) dan kebijakan diformulasikan dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Umumnya perda dan kebijakan yang diterapkan Pemda tidak jauh dari urusan pajak, retribusi, perizinan dan pelayanan birokrasi yang disadari atau tidak disadari dapat membebani kegiatan dunia usaha sehingga daya tarik investasi di daerah menjadi rendah.
Sesuai hasil kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), saat ini masih banyak daerah yang menilai keberhasilan otonomi daerah adalah dengan meningkatnya PAD. Tinggi rendahnya PAD digunakan sebagai parameter untuk mengukur keberhasilan dari pelaksanaan otonomi daerah. Target peningkatan PAD ini seringkali memicu munculnya berbagai kebijakan yang kontraproduktif (counter productive) terhadap iklim usaha dan investasi. Padahal iklim investasi yang kondusif pasti dapat meningkatkan kegiatan ekonomi, baik berskala besar maupun kegiatan ekonomi kerakyatan sehingga mendongkrak kemampuan pemda, swasta dan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang bergairah akan mampu menciptakan pasar tenaga kerja, iklim usaha yang kompetitif, meningkatkan perputaran uang dan mendatangkan pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi.
Daya tarik para penanam modal baik dari dalam maupun investor asing sangat dipengaruhi oleh kemauan pemda dalam menciptakan iklim usaha yang bersahabat. Para investor tentu sangat keberatan atas munculnya peraturan-peraturan daerah dan berbagai biaya tidak resmi (pungutan liar) yang dianggap merepotkan dalam berinvestasi. Dengan dalih adanya pelanggaran perda, perizinan atau alasan birokratik lainnya, para pengusaha kadang menjadi target pemungutan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Ditambah lagi adanya berbagai pungutan di luar birokrasi yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang terorganisasi seperti kelompok pemuda kampung, aparat keamanan dan preman. Modus operandi pungutan tidak resmi itu dilakukan melalui cara halus dengan meminta sumbangan hingga akhirnya melakukan intimidasi. Sungguh, hal ini sangat mengganggu dan membuat jera para investor. Bahkan bisa jadi, para investor yang sudah menanam modalnya di daerah segera angkat kaki karena harus memikul beban ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Wajar jika akhirnya Singapura menandai beberapa daerah di Indonesia ke dalam daftar investasi negatif sehingga paling sedikit 13 perusahaan minyak asing menghentikan operasinya di Indonesia karena retribusi dan biaya siluman yang dipungut oleh pejabat daerah.
Substansi kebijakan yang dirumuskan Pemda dirasa kurang akomodatif terhadap kebutuhan dunia usaha. Bisa jadi salah satu penyebab utama rendahnya kualitas kebijakan Pemda tersebut adalah tidak dilibatkannya dunia usaha dalam proses perumusan, paling tidak melalui penjaringan suara, sehingga berpotensi menimbulkan benturan-benturan di lapangan. Dalam kondisi dimana daerah tidak respek terhadap iklim investasi yang kondusif seperti ini, pemerintah pusat mestinya turut serta mengendalikan. Pemerintah pusat dapat membatasi pajak dan pungutan yang dikeluarkan pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota) yang mengganggu iklim investasi di daerah. Para investor dan pengusaha sangat membutuhkan kepastian hukum, keamanan, kestabilan perekonomian dan politik. Kontrak-kontrak yang ditandatangani dengan Pemda maupun swasta akan kurang kuat dan kurang memberi kepastian jika iklim investasi tidak kondusif.
Sebetulnya indikator-indikator perekonomian nasional saat ini memperlihatkan potensi cukup besar untuk berkembangnya sebuah investasi. Stabilitas kurs rupiah terjaga pada kisaran Rp 8.400 - Rp 8.600 per dollar AS, laju inflasi terkendali sekitar 5,0 - 5,8 persen dan suku bunga SBI stabil pada kisaran 7,8 - 8,0 persen. Kestabilan rupiah, tingkat inflasi yang terkontrol dan suku bunga yang stabil merupakan faktor utama kenyamanan berinvestasi. Namun, sekali lagi, faktor-faktor positif tersebut tidak ada maknanya jika tidak didukung oleh kebijakan daerah otonom yang tanggap dan bijaksana. Pemda mesti menindaklanjutinya dengan pembuatan kebijakan yang lebih bersahabat, misalnya memberbaiki birokrasi terutama mengenai pelayanan perizinan pendirian usaha baru dan registrasi ulang, menerbitkan kebijakan yang akomodatif, memberantas pungutan-pungutan liar serta meningkatkan perlindungan keamanan. Pemda harus mampu membuat kebijakan ekonomi yang sifatnya mendorong dunia bisnis secara lebih progresif.
Pelayanan birokrasi yang kurang baik dapat diatasi dengan upaya pengembangan perilaku bersih di lingkungan pejabat teras. Budaya birokrasi umumnya bersifat paternalistik sehingga keteladanan pimpinan (patron) akan menentukan strata birokrasi di bawahnya (klien) untuk melakukan hal yang sama. Selanjutnya setiap kebijakan daerah yang dipandang distortif atau mengganggu kelancaran dunia usaha dan investasi harus segera direformasi. Penjaringan suara dan aspirasi para pengusaha harus dilakukan untuk menggali input yang lebih lebih obyektif. Sistem perpajakan dan retribusi daerah juga hendaknya didesain untuk menarik investasi baru dan menjaga kenyamanan pengusaha. Dengan dalih untuk peningkatan PAD, seringkali Pemda tidak sabar untuk segera menjerat para investor yang baru saja menanamkan modal di daerah dengan berbagai pungutan. Pemda ini menginginkan dapat menarik keuntungan sejak awal kedatangan investor. Padahal untuk menjalankan perusahaan hingga menghasilkan keuntungan, investor membutuhkan waktu dan usaha keras. Oknum yang terbukti menyalahgunakan wewenang dengan melakukan pemungutan liar mesti ditindak tegas.
Namun demikian, meskipun Pemda memberikan “kemudahan” bagi para investor dan pengusaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif haruslah tetap dijaga dampak sosial dan lingkungan yang terjadi. Pro kepada investor bukan berarti semua jenis usaha layak diizinkan, apalagi investasi asing. Pemerintah harus memperketat perizinan para pelaku usaha multinasional yang bergerak di bidang eceran (ritel) modern, seperti hipermarket. Pemerintah perlu memikirkan persyaratan ketat agar kehadiran hipermarket tidak merugikan produsen produk lokal dan petani di dalam negeri untuk jangka panjang. Bagaimanapun, para produsen lokal dan petani daerah harus lebih diprioitaskan eksistensinya. Pemerintah harus mengawasi realisasi riil investasi asing apakah sesuai dengan Izin Usaha Industri dan Rekomendasi Berita Acara Pemeriksaan Izin Usaha Industri yang diterbitkan oleh Badan Promosi dan Investasi Daeah (BPID). Kehadiran investor asing justru seharusnya dapat membantu petani dan produsen lokal dalam memasarkan produk atau komoditas yang dihasilkan serta menciptakan lapangan kerja.
Paradigma bahwa kemandirian daerah otonom dinilai dari besar kecilnya PAD juga memicu Pemda untuk melonggarkan izin para pemodal asing. Pemodal asing identik dengan uang yang berarti menambah penerimaan daerah walaupun dalam jangka panjang bisa jadi dapat merusak kelestarian lingkungan. Seperti investasi pertambangan emas Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara yang 80% dimiliki oleh Newmont dari Amerika. Masyarakat setempat dan LSM menuduh perusahaan tersebut telah menyebabkan polusi di perairan pantai Tanjung Buyat di dekat pertambangan. Namun nampaknya Pemda setempat tidak terlalu respek, justru yang dikejar-kejar adalah bagaimana perusahaan mau membayar pajak yang besarnya antara 400.000 USD dan 500.000 USD. Apalah artinya pendapatan pajak daerah yang tinggi jika harus mengorbankan rakyatnya.
Iklim investasi kondusif terjadi jika pemerintah, swasta dan masyarakat umum sama-sama dapat mengambil keuntungan atas keberadaan sebuah investasi. Pendapatan pajak Pemda meningkat, pelaku usaha memperoleh laba tinggi dan tenaga kerja terserap sehingga mengurangi jumlah pengangguran. Kondisi ideal ini dapat terjadi jika ada pola kemitraan antar ketiga pihak di atas. Bukan kemitraan (kolusi) Pemda dengan DPRD untuk melahirkan Perda yang dapat memperpanjang rantai birokrasi sehingga ada celah untuk melakukan pemungutan-pemungutan.
Membangun iklim investasi daerah yang kondusif tidak bisa terlepas dari sistem informasi pasar nasional maupun internasional. Promosi dan didukung dengan kondisi riil daerah atas kenyamanan investasi harus diciptakan. Pemda dan DPRD harus menyadari bahwa terjadi persaingan ketat antar daerah dalam memperebutkan investasi baru. Pemda yang mampu membuat daerahnya menarik untuk investasi baru akan banyak didatangi investasi. Sebaliknya, Pemda yang daerahnya justru tidak menarik bagi investasi, jangankan masuknya investasi baru, investasi yang telah ada saja di daerah itu besar kemungkinan akan keluar atau pindah ke daerah lain.
Menarik atau tidaknya investasi di daerah, baik bagi perusahaan asing maupun penanam modal dalam negeri di setiap daerah otonom pasti berbeda-beda. Kualitas kebijakan dan Perda yang dirumuskan Pemda sangat mempengaruhi iklim investasi ini selain tentunya potensi sumber daya yang ada. Selamat membangun daerah…!
No comments:
Post a Comment