Formalitas Laporan Akuntabilitas Kinerja Pejabat Publik


Setiap akhir masa bhakti, setiap kepala atau pimpinan suatu entitas wajib mempertanggungjawabkan kinerja selama periode jabatan. Demikian juga yang dilakukan para manajer atau pejabat publik. Prosedur formal yang harus dilakukan para pejabat publik ini adalah menyusun laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada atasan sesuai dengan jenjang manajerialnya. Sebagaimana Kepmendagri No. 29 Tahun 2002, penyusunan LPJ pejabat publik setingkat Kepala Daerah terdiri atas Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas dan Neraca. Sistem akuntabilitas formal seperti ini sangat ideal hanya jika terdapat pemahaman substantif atas makna akuntabilitas publik sehingga tidak terjebak hanya pada aspek formalitas belaka.
Berangkat dari kesadaran bahwa akuntabilitas bukan sekedar formalitas tersebut, beberapa instansi pemerintah telah mempublikasikan Laporan Kinerja untuk masyarakat dengan melalui surat kabar maupun internet. Sudah seharusnya akuntabilitas pejabat publik tidak hanya secara vertikal ke atasan namun juga harus secara horisontal ke masyarakat. Dalam publikasian tersebut bisa disampaikan bagian-bagian LPJ Akhir Masa Jabatan atas pelaksanaan kinerja selama masa bhakti. Secara konsep, makna akuntabilitas dapat dipahami sebagai kewajiban pihak pemegang amanah untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan, melaporkan dan mengungkapkan (disclosure) segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Para pejabat publik adalah pihak pemegang amanah dan masyarakat secara tidak langsung merupakan pihak pemberi amanah yang berhak meminta pertanggungjawaban. Jadi jabatan publik tersebut adalah amanah rakyat dan bukan sekedar penunjukan atasan.
Pada tataran Pemda, secara prosedur formal LPJ Kepala Daerah harus disampaikan kepada DPRD sebagai bentuk pertanggungjawaban. Namun pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap LPJ ini cukup banyak dan nampaknya belum bisa terwakili hanya oleh legislatif dengan atas nama rakyat. Apalagi jika keefektifan peran legislatif kurang optimal. Sering kita memahami proses akuntabilitas sebagai bentuk saluran pertanggungjawaban yang monolitis dengan mengacu pada model hirarkis, misalnya pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD di atas. Dalam perspektif ini, seorang pegawai pemerintah hanya bertanggungjawab kepada pegawai yang lebih tinggi jabatannya dalam struktur organisasi atau pada parlemen tanpa harus ke publik. Dalam kondisi dimana fungsi legislatif kurang tajam maka kemungkinan tidak terjadi titik temu antara laporan pejabat publik dengan respon publik. Maka perlu dipertimbangkan penerapan berbagai variasi atas saluran akuntabilitas publik agar bisa mencerminkan pertanggungjawaban yang sebenarnya kepada publik.
Untuk mewujudkan transparansi, saluran akuntabilitas harus dibuka kepada masyarakat secara langsung, kepada agen-agen (perwakilan) publik, seperti auditor, ombudsman dan parlemen selain tentunya kepada pemegang otoritas yang lebih tinggi dalam sebuah rantai komando formal. Melalui variasi saluran akuntabilitas tersebut setiap masyarakat dapat menanggapi, mengkritisi dan menyampaikan aspirasinya untuk dapat diteruskan pada pejabat publik yang bersangkutan. Masukan dan keluhan masyarakat ini dapat direkomendasikan kepada pejabat baru sebagai feedback dalam perbaikan kinerja periode berikutnya.
Masyarakat dapat menilai kinerja para pejabat publik tersebut dalam kapasitasnya sebagai abdi masyarakat (public servants). Standar kinerja yang digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan dan ketidakberhasilan para manajer publik tersebut harus mencerminkan harapan masyarakat. Penilaian kinerja dengan bertumpu pada harapan publik ini adalah makna akuntabilitas publik yang sejati. Kondisi seperti ini tidak memungkinkan adanya sebuah LPJ yang sudah dinyatakan diterima oleh legislatif tetapi senyatanya ditolak oleh sebagian besar masyarakat. Jika masyarakat umum kecewa, marah dan tidak puas namun LPJ kepala daerah dinilai cukup baik oleh legislatif berarti perwujudan akuntabilitas publik masih sebatas memenuhi aspek formalitas belaka. Artinya, penilaian kinerja kepala daerah menjadi bias karena tidak berdasar pada standar yang menjadi harapan publik tetapi berdasar target-target tertentu yang tidak responsif.
Memang tidak mudah menerapkan akuntabilitas publik yang ideal sebagaimana makna sebenarnya. Sistem akuntabilitas perlu dibangun dan diciptakan. Upaya membangun sistem akuntabilitas publik ini dimulai dari penciptaan lingkungan yang memungkinkan individu, tim dan organisasi serta masyarakat merasa termotivasi untuk melaksanakan wewenang dan/atau memenuhi tanggung jawab mereka. Setiap pegawai harus menyadari bahwa mereka dibayar untuk berprestasi. Sikap kritis masyarakat juga harus didukung dengan alternatif solusi bukan menyalahkan apalagi menghujat. Kesadaran akan hak, kewajiban serta tanggung jawab baik oleh pejabat pemerintah maupun segenap lapisan masyarakat dengan sendirinya akan memicu tumbuhnya sistem akuntabilitas. Sebagian instansi pemerintah sudah berupaya menciptakan lingkungan akuntabilitas dengan memupuk kesadaran dirinya akan kewajiban pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Bukan tidak mungkin, publikasian LPJ tersebut pada saatnya nanti tidak hanya dilakukan pada akhir masa bhakti tetapi per tahun atau per semester dengan menyajikan secara jelas standar kinerja yang bertumpu pada harapan masyarakat.
Dalam upaya memenuhi maksud dari akuntabilitas publik, maka diperlukan pelaporan (reporting) kepada masyarakat secara detail dan lengkap tentang bagaimana dana-dana publik digunakan dan dibelanjakan. Laporan ini harus dipublikasikan sehingga masyarakat bisa langsung mengetahui dan menilai pengelolaan keuangan oleh pemerintah. Selain aspek finansial, akuntabilitas publik ini seharusnya juga menekankan pada outcomes atas program-program pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat berhak mengetahui sampai seberapa jauh hasil yang telah dicapai dari proyek dan program yang selama ini didanai secara tidak langsung dari masyarakat melalui pajak. Apabila masyarakat dididik dan diberi informasi yang cukup mengenai outcomes dan kualitas yang telah dicapai, maka mereka mempunyai kepercayaan dan dukungan yang baik terhadap pemerintah daerah.
Laporan kinerja pejabat publik untuk publik ini harus memuat laporan kinerja keuangan berdasarkan realisasi APBD misalnya menyangkut perkembangan PAD dan realisasi belanja. Selain informasi keuangan seharusnya juga dilaporkan kinerja pembangunan ekonomi, kinerja pembangunan sosial budaya dan kesejahteraan rakyat serta kinerja pembangunan politik dan pemerintahan. Jika Laporan kinerja tersebut disampaikan melalui variasi saluran akuntabilitas publik yang tidak monolitis sehingga memungkinkan masyarakat untuk mengakses dan menilainya maka amanah yang diemban pejabat publik paling tidak sudah dipertanggungjawabkan meskipun sebatas laporan tertulis. Konteks akuntabilitas sendiri sebetulnya memang menunjukkan suatu hubungan antara otoritas dan pengendalian melalui pertanggungjawaban yang berupa pelaporan / catatan (account). Namun agar tidak terjebak hanya pada aspek formalitas maka pelaporan tersebut harus dapat diakses oleh publik, apa pun medianya.
Setelah masyarakat dapat mengakses informasi laporan pertanggungjawaban pejabat publik, kesulitan yang kemudian timbul adalah mengukur kinerjanya. Bukankah mengukur kinerja itu membutuhkan indikator dan ukuran yang jelas. Jika tidak ada tolok ukur tersebut maka pengukuran kinerja pasti dilakukan secara beraneka ragam dengan interpretasi subyektif.  Indikator kinerja dirumuskan dengan mengacu pada misi dan visi institusi. Dengan demikan LPJ pejabat publik harus menyertakan visi dan misi yang telah ditetapkan sebelumnya. Jika diamati, beberapa entitas publik belum menetapkan visi dan misinya secara jelas, atau kalaupun sudah mempunyai dan ditempel di setiap pintu tetapi tidak menghayatinya.
Perumusan visi dan misi institusi juga bukan sekedar formalitas. Nilai hakikinya harus dihayati dan diamalkan semua anggota organisasi. Slogan dan jargon dimaksudkan agar setiap individu menyadari tanggung jawabnya dalam mencapai visi dan misi sehingga tercipta budaya organisasi yang kondusif. Jika sampai slogan dan jargon juga formalitas belaka maka justru bisa merugikan institusi itu sendiri karena tidak dipercaya masyarakat. Indikator dan ukuran kinerja yang diterjemahkan dari visi dan misi yang benar-benar dihayati dan diamalkan adalah modal utama dalam membangun sistem akuntabilitas publik. Para pejabat publik akan menyadari amanahnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Laporan pertanggungjawaban yang disampaikan di akhir masa jabatan bukan sekedar bentuk akuntabilitas formal tetapi juga perwujudan dari akuntabilitas moral karena mengemban misi kemanusiaan dan pemanusiaan.

No comments: