Lingkungan Akuntablitas


Lingkungan akuntablitas mengacu pada kondisi dimana di dalamnya akuntabilitas dapat berjalan dengan baik. Secara khusus, suatu lingkungan yang memiliki akuntabilitas adalah adanya kondisi dimana di dalamnya individu, tim dan organisasi merasa:
a.    Termotivasi untuk melaksanakan wewenang mereka dan/atau memenuhi tanggung jawab.
b.    Mendorong untuk melaksanakan kerja mereka dan mencapai hasil yang diinginkan.
c.     Memberikan inspirasi untuk membagi (melaporkan) hasil mereka.
d.    Kemauan untuk menerima kewajiban atas hasil tersebut.
Lingkungan akuntabilitas yang optimal merupakan salah satu akuntabilitas yang proaktif dimana di dalam individu, tim, dan organisasi memiliki fokus pada pencapaian hasil yang besar daripada sekedar menggambarkan cara-cara untuk menjelaskan hasil yang buruk yang diperoleh. Untuk banyak bagian, lingkungan yang memiliki akuntabilitas dibangun dari atas ke bawah seperti institusi kepemimpinan organisasional dan promosi lingkungan dan menurunkannya ke dalam berbagai jenjang pekerja. Dengan demikian, “kesulitan/masalah” yang terkait dengan lingkungan akuntabilitas pada individu pekerja biasanya dapat dilacak hingga ke lingkungan yang terpengaruh di dalam jenjang manajemen. Meskipun demikian, ada jeda waktu ketika individu pekerja mengabaikan dukungan dan komitmen manajemen.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyusun lingkungan akuntabilitas yang baik. Persyaratan tersebut antara lain leadership, reciprocation, equity, trust, transparency, clarity, balance, ownership, consequences, consistency dan follow-up. Berikut dijelaskan masing-masing persyaratan di atas.
1. Leadership
Leadership (kepemimpinan) menjadi hal yang penting dalam suatu lingkungan. Kepemimpinan diacu sebagai individu atau group dalam suatu posisi yang memiliki wewenang untuk mengendalikan dan mengarahkan pekerjaan orang lain. Sesuatu mengenai kepemimpinan yang dapat dilaksanakan untuk membangun dan memperkenalkan akuntatabilitas lingkungan adalah:
a.    Mengarahkan dengan contoh.
b.    Harus memiliki komitmen.
c.     Jalur yang bersih.
d.    Menjadi seorang yang mampu menjawab yang baik / menjadi tempat bertanya.
e.     Menggunakan pertimbangan yang bijaksana / baik.
2. Reciprocation
Reciprocation accountability memastikan “two wayness” hubungan akuntabilitas berjalan dengan baik. Hal itu menjamin keterbukaan dan mendorong baik transparansi maupun kejelasan (clarity). Dengan menggunakan konsep  reciprocation accountability, seseorang atau group atau organisasi dengan yang menerima wewenang dan seseorang atau group atau organisasi yang menerima delegasi tanggung jawab akan dapat melaksanakan apa yang dimaksud dengan quid pro quo relationship. Yakni yang memiliki wewenang bertanggungjawab untuk memberikan kecukupan arahan, pedoman, dan sumber daya begitu juga usaha untuk menghilangkan atau mengurangi kinerja.
Di lain pihak, yang menerima delegasi bertanggungjawab melaksanakan pemenuhan tanggung jawab tersebut. Dalam hubungan ini, keduanya saling memiliki akuntabilitas masing-masing. Aspek kunci dari reciprocation accountability adalah senior manajemen masuk dalam persamaan akuntabilitas. Seperti yang digambarkan oleh the Citizens Circle for Accountability (1986), dalam konteks reciprocation accountability “orang yang memiliki wewenang yang senior dalam suatu organisasi akan bersedia menjawab pada anggota organisasi anggotanya mengenai apa yang hendak mereka tuju, untuk siapa mereka bekerja, dan untuk apa kontribusi pemikiran mereka”. Dengan kata lain, mereka menjadi partisipan dan bukan sekedar pengikut di belakang saja.
3. Equity
Equity of fairness (kewajaran) merupakan pusat perhatian dari konsep akuntabilitas. Asumsi terhadap keterbukaan akuntabilitas harus selalu dipelihara dan didukung oleh kepemimpinan organisasi. Ketidakwajaran seharusnya dihindari karena hal itu akan merusak kepercayaan dan kredibilitas organisasi. Sebagai akibatnya, kinerja organisasi kurang optimal.
4. Trust
Kewajaran akan mengarah pada trust (kepercayaan), dan kepercayaan menunjukkan adanya kewajaran. Tidak akan dapat dibangun hubungan akuntabilitas tanpa adanya kepercayaan. Jika satu atau dua bagian / pihak saling tidak percaya satu sama lain maka ada kemungkinan kelemahan transparansi, dan hubungan yang demikian akan mengalami kegagalan. Dengan kata lain, akuntabilitas tidak berlangsung dalam lingkungan yang tidak ada saling kepercayaan.
5. Transparency
Transparency (transparansi) merupakan kondisi adanya keterbukaan secara penuh, juga merupakan salah satu elemen penopang akuntabilitas. Dengan demikian, transparansi merupakan kunci untuk membangun lingkungan yang memiliki akuntabilitas yang memiliki lingkungan. Transparansi berarti bahwa individu, group, atau organisasi dalam hubungan akuntabilitas diarahkan tanpa adanya kebohohan atau motivasi yang tersembunyi, dan bahwa seluruh informasi kinerja lengkap dan tidak memiliki tujuan menghilangkan data yang berhubungan dengan masalah tertentu. Dalam istilah yang sederhana transparansi berarti “seluruh pemain meletakkan seluruh kartu mereka di atas meja”.  Lingkungan tanpa transparansi berarti ada suatu agenda yang tersembunyi. Juga berarti suatu lingkungan yang tidak memiliki kepercayaan dan memiliki akuntabilitas yang rusak.
6. Clarity
Clarity (kejelasan) juga merupakan salah satu elemen penopang akuntabilitas. Agar individu atau group melaksanakan wewenang dan/atau memenuhi tanggung jawab, mereka perlu gambaran yang jelas mengenai apa saja yang mereka akan laksanakan / penuhi dan hasil apa yang diharapkan. Dengan demikian, fokus yang menjadi kunci kejelasan adalah:
Otoritas / wewenang. Otoritas adalah hak untuk bertindak tanpa persetujuan awal dari manajemen yang lebih tinggi dan tanpa tantangan dari sesama manajemen (Frost, 1998). Individu-individu dan group di dalam organisasi harus tahu siapa yang berwenang dan tingkat wewenang yang mereka miliki. Dengan kata lain, mereka mampu membedakan garis otoritas organisasi, memahami gambaran yang jelas mengenai struktur pelaporan organisasi. Sebagai tambahan bagi mereka yang menerima wewenang mereka juga harus tahu derajat wewenang mereka agar dapat memahami apa yang seharusnya dan yang tidak seharusnya mereka perlu jawab / kerjakan.
a.    Misi organisasi.
Individu dan group perlu memiliki pemikiran yang jelas mengenai misi organisasi dan peran yang mereka mainkan dalam pencapaian misi. Termasuk misi divisi, departemen, dan  / organisasi secara keseluruhan. Individu dan group yang melaksanakan kerja tanpa pemahaman mengenai tujuan dan arah organisasi maka tidak akan efisien dan efektif, begitu juga mereka yang tidak memiliki rasa kepemilikan.
b.    Peran dan Tanggung Jawab
Setiap individu dan / group harus memenuhi tanggung jawab yang telah dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, individu dan / group ini perlu mengetahui (1) peran apa yang mereka mainkan dalam misi organisasi, (2) apa tanggung jawab mereka dalam misi organisasi. The Auditor General of Canada and the Treasury Board Secretariat (1998) mengatakan “perlu memahami dengan baik peran dan tanggung jawab bagian-bagian yang terlibat dalam suatu hubungan akuntabilitas. Pemahaman yang baik akan memberikan suasana yang baik pada pihak-pihak yang merespon maupun yang melaksanakan”.
c.     Ekspektasi Kinerja
Individu dan group harus mengetahui secara pasti apa yang diharapkan dari mereka atas kinerjanya jika mereka akan melaksanakan suatu tanggung jawab dan ditanya terhadap pelaksanaan dan pemenuhan kewajiban atas hasil yang mereka capai. Jika ekspetasi kinerja tidak jelas, maka kemudian identifikasi akuntabilitas juga tidak akan jelas. Mencoba mengendalikan orang atau group untuk hasil yang mereka tidak mengetahui ekspetasinya akan menjadi sesuatu yang sulit atau tidak dapat dicapai.
d.    Pelaporan Kinerja
Hasil kinerja perlu untuk dilaporkan secara jelas dan tanpa bias, apalagi jika informasi digunakan untuk mendorong peningkatan organisasi. Seperti yang dikatakan oleh  The Auditor General of Canada and the Treasury Board Secretariat (1998) bahwa akuntabalitas yang efektif memerlukan pelaporan (akuntansi) terhadap apa yang sudah dicapai. Laporan harus kredibel, bermanfaat, dan tepat waktu. Hasil pencapaian itu harus digambarkan dan diintegrasikan dalam beberapa cara bagi yang memiliki wewenang, sumber daya, dan tindakan-tindakannnya disajikan dalam ekspektasi dan dilaporkan dalam kerangka waktu yang masuk akal.
7. Balance
Balance (keseimbangan) yang dimaksud adalah keseimbangan antara akuntabilitas dan otoritas, antara ekspektasi dan kapasitas, dan antara upah dan kinerja. Keseimbangan ini harus terpenuhi agar akuntabilitas dapat berjalan dengan baik.
a.    Keseimbangan Akuntabilitas dan Otoritas
The Auditor General of British Columbia (1996) mencatat bahwa jika para eksekutif dan manajer  tidak memiliki otoritas untuk melaksanakan tindakan yang penting demi tercapainya kinerja maka pengendalian terhadap program-program manajer dan akuntabilitas eksekutif menjadi lemah. Suatu perubahan/peningkatan yang sustansial bagi kinerja suatu organisasi harus disertai dengan perubahan yang penting yaitu otoritas.
b.    Keseimbangan Ekspektasi dan Kapasitas
Suatu poin penting yang dibuat oleh Auditor General of Canada and Treasury Board Secretariat (1998) adalah bahwa ekspektasi kinerja perlu dihubungkan secara jelas dengan mempertimbangkan keseimabngannya dengan kapasitas (otoritas, keahlian, dan sumber daya) dari setiap bagian organisasinya. Kegagalan dalam membangun hubungan yang wajar atau yang masuk akal antara apa yang diharapkan dengan wewenang dan sumber daya yang diberikan, cenderung akan menggeroti efektivitas akuntabilitas. Ekspektasi yang berada di luar kewajaran akan memberikan ketidakyakinan dalam pencapaiannya. Sesuai dengan pemikiran di atas, efektivitas akuntabilitas dapat ditingkatkan dengan membangun suatu kerangka hubungan yang jelas atas hubungan dan keseimbangan antara sumber daya dan ekspektasi hasil-hasilnya.
c.     Keseimbangan Upah dan Kinerja
Tantangan yang nyata bagi lingkungan yang memiliki akuntabilitas adalah ketidakseimbangan antara apakah individu dibayar untuk kinerjanya dan apakah individu diharapkan untuk melaksanakannya. Upah yang rendah dengan ekspektasi yang tinggi akan menurunkan moral. Upah yang tinggi dengan ekspektasi yang rendah akan membuat seseorang menjadi tidak memiliki inspirasi dan motivasi bekerja yang baik. Jadi, dalam hal ini diperlukan adanya keseimbangan antara upah dengan ekspektasi kinerja.
8. Ownership
Kinerja yang optimal dapat dicapai dengan memberikan ownership (rasa kepemilikan) atas setiap tindakan pada individu-individu dan group. Rasa kepemilikan ini dapat  memberikan suatu kepentingan atas outcomes dan dengan demikian akan mengarahkan mereka untuk bertindak dalam bisnis secara hati-hati untuk memenuhi tanggung jawab. Dengan kata lain, rasa kepemilikan akan meningkatkan perilaku, tanggung jawab, dan sikap. Pengembangan rasa kepemilikan pada individu dan group dapat dicapai melalui proses yang disebut menting. Berikut ini diuraikan proses menting tersebut:
a.    Komitmen
Komitmen merupakan poin awal dalam menumbuhkan rasa kepemilikan. Mnajemen harus menunjukkan pada individu atau group dan juga harus memperoleh komitmen mereka untuk mencapai ekspektasi kinerja. Komitmen manajer pada individu dan group menunjukkan rasa kepemilikan manajemen terhadap tindakan dan outcomes individu dan group.
b.    Persetujuan
Akuntabilitas pada dasarnya merupakan suatu hubungan atau kontrak antara dua bagian.  Oleh karena itu seharusnya ada persetujuan terlebih dahulu antara dua bagian tersebut atas hubungan akuntabilitas (otoritas, peran dan tanggung jawab, ekspektasi kinerja, syarat / kriteria pelaporan, dan konsekuensi). Persetujuan atas hubungan akuntabilitas ini harus dilaksanakan terlebih dahulu sebelum kerja dilaksanakan. Jika ada persetujuan, maka akan ada kejelasan dan pemahaman yang lebih baik. Tanpa hal itu maka akan muncul ketidakpastian dan ketiadaan akuntabilitas. Sebagai tambahan persetujuan tersebut akan memuat seseorang atau group memiliki keterikatan dan tanggung jawab atas kontrak yang telah disepakati.
c.     Keterlibatan
Keterlibatan dalam proses perencanaan dan proses pelaksanaan kerja, dan aktivitas lain akan mampu membangun rasa pemilikan adan bertanggungjawab (buy-in) terhadap proses dan aktivitas tersebut (involvement). Selain meningkatkan rasa pemilikan, keterlibatan juga akan meningkatkan loyalitas dan komitmen yang pada akhirnya akan meningkatkan akuntabilitas.
d.    Pemberdayaan
Pemberdayaan diibaratkan sebagai pertalian darah atas pembagian wewenang antara manajemen dengan individu dan group. Ketika ekspektasi kinerja didefinisikan dan disetuji, manajemen memberikan bantuan pada individu dan group yang memiliki kekuatan di lapangan untuk menjalankan persetujuan sesuai dengan ekspektasinya dalam kerangka kerja yang diberikan. Pemberdayaan individu dan group merupakan bentuk keterlibatan, dan hal ini menciptakan rasa pemilikan serta meningkatkan komitmen.
e.     Investasi
Tingkat investasi organisasi (pelatihan, simber daya kerja, upah, dan sebagainya) pada karyawan menunjukkan suatu tingkatan bahwa organisasi memiliki komitmen pada karyawan. Tingkat dimana karyawan merasa memiliki akan menunjukkan tingkat bahwa ia memiliki pekerjaan mereka.
f.     Usaha yang Berkelanjutan
Usaha yang berkelajutan akan memberikan peluang pada karyawan untuk berbuat lebih baik dan hanya dengan jalan tersebut keberlangsungan kerja sat ini akan meningkat dan akan menunjukkan kemampuan untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Peluang untuk keberlanjutan akan mendorong karyawan berbuat lebih baik dan meningkatkan rasa pemilikan terhadap lingkungan sekitar.
g.     Penghargaan
Penghargaan kinerja merupakan kunci lingkungan akuntabilitas. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi akuntabilitas. Ketika karyawan mengetahui penghargaan erat kaitannya dengan kinerja mereka, maka mereka akan komit terhadap pelaksanaan kinerja dan memiliki rasa pemilikan terhadap setiap tindakannya. Biasanya jika karyawan dihargai secara baik atas kinerja, maka mereka akan mengembangkan sense pencapaian/pemenuhan yang akan membuat mereka bangga dalam pekerjaan mereka serta akan meningkatkan rasa pemilikan.
9. Consequence
Akuntabilitas akan kurang bermakna tanpa adanya consequence (konsekuensi). Akuntabilitas lahir bersama dengan kewajiban, dan kewajiban lahir bersama dengan konsekuensi. Konsekuensi dapat berupa penghargaan (baik) atau sanksi (buruk). Konsekuensi membantu mendorong pelaksanaan wewenang, pemenuhan tanggung jawab, dan peningkatan kinerja. Dalam membangun kerangka konsekuensi jika tidak berjalan sesuai dengan arah kerangka tersebut maka akan memiliki dampak yang dapat menurunkan makna dan tingkat pentingnya akuntabilitas.
10. Consistency
Consistency (konsistensi) akan menjamin stabilitas. Penerapan yang inkonsisten terhadap kebijakan, prosedur, sumber daya, dan/atau konsekuensi dalam suatu organisasi akan menurunkan atau melemahkan lingkungan akuntabilitas dan kredibilitasnya. Hal itu cenderung menurunkan moral karyawan dan mendorong sinisme. Rasa memiliki akan hilang dan kinerja akan melemah.
11. Follow-up
Dalam dokumen Modernizing Accoutability Practices in the Public Sector (1998),  The Auditor General of Canada and the Treasury Board Secretariat menyatakan “reasonable review and adjusmen, nothing that, something has to happen as a result of reporting accountability information in order to close the loop”. Jadi, bagian-bagian yang melakukan review atas hasil memerlukan pertimbangan apakah pencapaian hasil tersebut sesuai dengan ekspektasinya dan lingkungan yang ada, dan kemudian mengakuinya sebagai usaha yang tercapai sepenuhnya. Jika ekspektasi tidak sesuai maka perlu tindakan koreksi dan kemungkinan penyesuaian untuk  penyusunan akuntabilitas yang dibuat dan memberikan catatan atas usaha pembelajaran. Hubungan akuntabilitas tanpa follow-up merupakan hasil yang jelas tidak lengkap dan tidak efektif.

No comments: